Bila kita tiba-tiba
ditanya : apa sesungguhnya kekuatan atau daya tarik pariwisata Indonesia yang
membedakannya dengan negara lain, sehingga layak dijual ? Pada umumnya akan
menjawab keindahan alamnya. Untuk yang jarang melakukan perjalanan wisata ke
mancanegara maka jawaban tersebut mungkin benar karena memang tidak pernah
melihat alam lain. Atau budayanya, tapi budaya yang mana Bali kah atau Jawa,
Toraja, atau yang lainnya. Kembali pengelolaan peninggalan budaya masih belum
ada apa-apanya dibandingkan dengan peninggalan budaya Yunani, Roma, Mesir,
kemampuan kita masih tertinggal. Bahkan di kawasan ASEAN saja pengelolaan
peninggalan budaya kita masih ketinggalan dibandingkan dengan Thailand atau
Kamboja dengan Angkor Wat nya. Kesemuanya ini perlu dikemukakan agar tidak
timbul arogansi yang sempit bahwa Indonesia adalah segalanya, terindah di
dunia, cepat berpuas diri; sehingga dikiranya setiap warga dunia mendambakan
untuk dapat berkunjung ke Indonesia dengan cara menabung atau cara lainnya.
Sesungguhnya keindahan alam ataupun peninggalan budaya secara fisik tidak lebih
dari seonggokan gunung atau candi ataupun benda/bangunan lainnya, ataupun
pantai yang indah yang juga dimiliki oleh berbagai negara yang lokasinya
berdekatan dengan lumbung turis internasional. Karena tanpa adanya komunitas
disekitar monumen, gunung atau pantai maka obyek wisata tersebut tidak lebih
dari benda mati, tidak ada roh kehidupan dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi
pengunjung. Oleh karena itu haruslah disadari bahwa kekuatan pariwisata
Indonesia adalah terletak pada manusianya. Manusia yang hangat, ramah tamah,
murah senyum dan gemar menolong tamunya, sehingga membuat “kangen” untuk
kembali lagi. Gambaran ini adalah pada umumnya manusia Indonesia memang
bercirikan demikian dan kita akui pula bahwa memang ada juga sekelompok kecil
bangsa Indonesia yang mempunyai tingkah laku tidak seperti yang digambarkan,
dan ini hanyalah ekses dari berbagai perubahan yang saat ini sedang berlangsung
di Indonesia.
Sejak
peristiwa 11 September 2001 pemerintah dan pelaku pariwisata sepakat untuk
lebih fokus memasarkan Indonesia dengan prioritas ke negara jiran ( short-haul )
dan rejional ( medium haul ). Disamping 70% wisman Indonesia
memang berasal dari segmen pasar ini, terdapat pula kecenderungan akan makin
sedikit manusia yang berpergian terlalu jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk
berwisata. Terlalu banyak resiko terutama yang terkait dengan keamanan dan
kenyamanan serta efisiensi karena pariwisata saat ini berhadapan dengan “ time
poor – money rich people ” (punya harta tetapi miskin waktu). Oleh
karena itulah berbagai upaya dilakukan dengan paket wisata yang menarik agar
wisman di sekitar negara kita lebih tertarik berkunjung ke Indonesia
dibandingkan ke negara lain. Pandangan ini lebih diyakini lagi setelah
terjadinya tragedi Bali, Oktober 2002. Tanpa tragedi pun mengatasi permasalahan
pariwisata sudah sangat sulit, apalagi ditambah dengan terjadinya tragedi ini,
bahkan diikuti pula dengan tragedi Hotel Marriott (Agustus 2003). Lebih parah
lagi setelah terjadinya berbagai tragedi yang sesungguhnya merupakan cobaan
ini, kekompakan dan kebersamaan di kalangan pelaku pariwisata yang dirasakan
sebelumnya sangat baik, telah terpecah belah karena berbagai ambisi dan manuver
politik untuk dapat muncul menjadi pahlawan pariwisata Indonesia (mungkin
supaya dikenang sejarah walaupun kesiangan dan tanpa prestasi yang jelas). Oleh
karena itu diawal 2003 BP-Budpar, sebagai lembaga operasional saat itu
memberikan gambaran bahwa tahun 2003 Indonesia akan mencapai angka terendah
dibawah tahun 2002 (5 juta wisman), sebesar 4,5 juta sampai 4,8 juta wisman.
Para wartawan menanyakan kok bisa lebih rendah dari 2002 saat dimana terjadi
Bom Bali. Analoginya sama dengan penyakit yang datangnya tiba-tiba tetapi
penyembuhannya memakan waktu dan bertahap. Disamping itu tahun 2002 dari bulan
Januari sampai dengan 11 Oktober kondisi pariwisata Indonesia masih normal
karena ketidak normalan hanya dialami dua setengah bulan terakhir saja;
sedangkan di tahun 2003 ketidak normalan akan berlangsung satu tahun penuh
bahkan akan merembet ke tahun 2004 (saat itu belum tahu kalau akan terjadi bom
Mariott). Jadi faktor utamanya adalah jaminan keamanan , meskipun tidak ada
satu pun negara di dunia yang menjamin bahwa wisman nya akan aman ketika
tinggal di negaranya. Yang mereka perlukan adalah “ signal ”
bahwa Indonesia bersungguh-sungguh menjaga keamanan. Sementara itu di tahun
2004 kita akan menyelenggarakan Pemilu masing-masing pada bulan April, Juli dan
September. Apabila pemilihan presiden dapat dilakukan hanya satu kali yakni
bulan Juli maka pebisnis yakin bahwa kondisi akan normal kembalidan diharapkan
akan adanya peningkatan kunjungan ke Indonesia (bila kondisi keamanan
mendukung. Namun bila pemilihan Presiden sampai diulang (bulan September) maka
tampaknya akan membawa dampak negatif bagi pariwisata Indonesia karena pihak
yang kalah kemungkinan akan berbuat keonaran, menginat jiwa sportivitas masih
belum membudaya dikalangan politisi kita. Oleh karena itu agar tidak hanya
termangu-mangu saja maka sebagai jalan keluarnya di tahun 2004 ini disarankan
para pelaku pariwisata Indonesia lebih fokus ke pasar dalam negeri, menggarap
wisatawan nusantara (wisnus) dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya sehingga
minimal kondisi cash-flow perusahaan akan dapat tertolong. Dan sebaiknya tidak
melakukan expansi ataupun investasi baru karena kondisi kestabilan politik kurang
mendukung adanya investasi baru dibidang pariwisata. Atas dasar kondisi
tersebut maka perkiraan jumlah wisman di tahun 2004 maksimal hanya akan meraih
4,5 juta wisman. Apabila dalam White Paper Menbudpar ditargetkan harus dapat
setor atau menghasilkan USD 5 Milyar maka harus bekerja keras berusaha agar
masa lama tinggal ( length of stay ) nya lebih panjang dari
hanya sekedar 10 hari dengan berbagai peningkatan kualitas dan variasi atraksi
yang menarik mereka untuk tinggal lebih lama lagi. Dan daerah yang sangat
terpengaruh terutama adalah Bali, sedangkan pintu masuk Cengkareng dan Batam
akan sedikit pengaruhnya karena kebanyakan pengunjung yang datang melalui pintu
ini adalah untuk melakukan bisnis bukan berwisata dalam arti sesungguhnya,
meskipun tetap akan mengalami penurunan pula. Disamping itu sebaiknya kita
tidak terperangkap pada “kekinian” sehingga menghilangkan idealisme hanya
dengan pragmatisme jangka pendek semata. Jawaban ex-patriate diawal pembahasan
bahwa sektor pariwisata lah yang akan menggantikan primadona ekonomi Indonesia
nantinya hendaknya kita jadikan pedoman dan mulai melihat kedepan paling tidak
tahun 2010, sebagaimana Thailand yang telah mencanangkan target 30 juta wisman
pada tahun 2010. yang tentunya didukung oleh persiapan yang matang dan mantap
serta leadership yang kuat, bukannya yang lemah diikuti oleh manajemen yang
amburadul. Inilah saatnya kembali bersatu karena tanpa persatuan sangat
mustahil pariwisata Indonesia dapat berdiri sejajar dengan negara tetangga,
Malaysia, Thailand dan Singapura.
Selain itu hendaklah disadari bahwa sektor pariwisata adalah penyedia kesempatan kerja yang sangat dominan yakni 10 % dari lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja langsung 7,3 juta dan yang tidak langsung 5 juta orang. Sehingga bila terjadi permasalahan yang menghambat kemajuan pariwisata pasti akan membawa dampak yang negatif terhadap ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu berbagai strategi pun harus diarahkan ke sasaran penciptaan lapangan kerja atau paling tidak memelihara jumlah tenaga kerja yang ada sekarang. Kepariwisataan Indonesia merupakan penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk memacu pertumbuhan perekonomian yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Pada tahun 2008 kepariwisataan Indonesia berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 153,25 trilyun atau 3,09% dari total PDB Indonesia (BPS, 2010). Pada tahun 2009, kontribusinya meningkat menjadi 3,25%. Pertumbuhan PDB pariwisata pun sejak tahun 2001 selalu menunjukkan angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan PDB nasional. Walaupun masih menunjukkan angka sementara, pada tahun 2009 pertumbuhan PDB pariwisata mencapai 8,18%, sedangkan PDB nasional hanya 4,37%. Pada tahun yang sama, devisa dari pariwisata meurpakan kontributor terbesar ketiga devisa negara, setelah minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Peringkat ini menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat sejak tahun 2006 yang hanya menempati peringkat ke-6 dari 11 komoditi sumber devisa negara.
Selain itu hendaklah disadari bahwa sektor pariwisata adalah penyedia kesempatan kerja yang sangat dominan yakni 10 % dari lapangan kerja di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja langsung 7,3 juta dan yang tidak langsung 5 juta orang. Sehingga bila terjadi permasalahan yang menghambat kemajuan pariwisata pasti akan membawa dampak yang negatif terhadap ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu berbagai strategi pun harus diarahkan ke sasaran penciptaan lapangan kerja atau paling tidak memelihara jumlah tenaga kerja yang ada sekarang. Kepariwisataan Indonesia merupakan penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk memacu pertumbuhan perekonomian yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Pada tahun 2008 kepariwisataan Indonesia berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 153,25 trilyun atau 3,09% dari total PDB Indonesia (BPS, 2010). Pada tahun 2009, kontribusinya meningkat menjadi 3,25%. Pertumbuhan PDB pariwisata pun sejak tahun 2001 selalu menunjukkan angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan PDB nasional. Walaupun masih menunjukkan angka sementara, pada tahun 2009 pertumbuhan PDB pariwisata mencapai 8,18%, sedangkan PDB nasional hanya 4,37%. Pada tahun yang sama, devisa dari pariwisata meurpakan kontributor terbesar ketiga devisa negara, setelah minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Peringkat ini menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat sejak tahun 2006 yang hanya menempati peringkat ke-6 dari 11 komoditi sumber devisa negara.
Namun
menurut pendapat saya, pemerintah masih kurang memperhatikan kualitas dari
kepariwisataan itu sendiri. Jika diperhatikan, masih banyak tempat – tempat wisata
yang memiliki fasilitas kurang memadai. Yang saya maksud adalah mengenai
kebersihan dan perawatan dari tempat wisata itu sendiri. Sebagai masyarakat
yang memiliki kebanggan akan Negara Indonesia dan tentu saja potensi
kepariwisataan Indonesia, tentu saja adalah kewajiban kita untuk memelihara
tempat – tempat kunjungan wisata tersebut. Disamping itu peran pemerintah pun
juga sangat diperlukan, karena semua fasilitas dan kegiatan pemeliharaan juga
bergantung dari kebijakan setiap lembaga pariwisata itu sendiri. Akan lebih
baik jika kita memulainya dari kesadaran diri masing – masing dahulu, selagi
menanti kebijakan pemerintah Negara maupun daerah membuat kebijakan bagi
perkembangan pemeliharaan tempat – tempat wisata tersebut. Ini semua selayaknya
kita lakukan sebagai tanda syukur kita bagi banyaknya anugerah yang Tuhan
berikan melalui keindahan – keindahan alam dan banyaknya sejarah di Indonesia.
Sumber
– sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar